Rabu, 26 Oktober 2016

Liputan Media Atas Jessica vs Mirna Lukai Hati Rakyat Papua


Filep Karma (Foto: Eben E.Siadari)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Seorang Tokoh Papua mengatakan cara dan intensnya pemberitaan media massa, terutama televisi, tentang kasus kopi bersianida yang menyebabkan terbunuhnya Wayan Mirna Salihin dan mendudukkan Jessica Kumala Wongso di kursi terdakwa, melukai hati rakyat Papua.

Bukan karena rakyat Papua tidak berempati pada hilangnya nyawa dalam kejadian tersebut, melainkan karena begitu gencarnya media meliput dan mengambil ruang perhatian publik, namun pada saat yang sama melupakan pemberitaan tentang berbagai pelanggaran HAM yang juga menghilangkan nyawa di Papua.

Hari ini sidang mengenai kasus pembunuhan itu akan memasuki pembacaan vonis oleh hakim, setelah selama berbulan-bulan tayangannya menghiasi layar televisi. Stasiun televisi menyiarkan langsung sidang tersebut, mewawancarai para saksi dan pengacara, sering kali pada segmen prime time, yang dianggap paling mahal dan paling disaksikan oleh pemirsa.

Di sisi lain, kasus terbunuhnya empat pelajar di Paniai oleh aparat keamanan, yang oleh para aktivis HAM disebut sebagai sebuah tragedi kemanusiaan di negara demokrasi, hingga saat ini tak pernah mendapat perhatian televisi. Kalaupun ada, hanya sejenak kemudian terlupakan.

Ungkapan kekecewaan ini disampaikan oleh tokoh Papua dan  mantan tahanan politik, Filep Karma, ketika berbicara di kantor Setara Institute, Jakarta, Rabu (26/10).

"Media massa hanya sebentar memberitakannya (kasus Paniai). Sementara kasus Mirna dan Jessica berbulan-bulan disiarkan terus. Tidak ada harga nyawa orang Papua di negara ini," kata Filep Karma, yang mendekam selama 11 tahun di penjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan kemudian dibebaskan oleh Presiden Joko Widodo.

Filep Karma mengatakan hal itu ketika berbicara kepada para wartawan yang menanyakannya berbagai hal tentang kondisi di Papua.  Filep Karma menagih janji Presiden Joko Widodo, yang pernah mengatakan dalam enam bulan kasus Paniai akan selesai. Tetapi hingga saat ini kasus ini belum juga diungkap.

"Rakyat Papua sudah dari dulu selalu diberi janji. Kami hidup dari janji ke janji. Sudah hilang percaya juga. Dan media massa juga begitu. Kasus Paniai ini hanya muncul sejenak. Lalu hilang. Jadi kalau di bilang sudah hilang harapan, mungkin ya juga," kata Filep Karma, yang selalu menyelipkan bendera Bintang Kejora seukuran kartu nama di dadanya.

Kasus Paniai

Kasus Paniai, atau sering juga disebut Tragedi Paniai adalah peristiwa terbunuhnya empat pelajar di Paniai pada 7 Desember tahun lalu. Keempat korban meninggal itu adalah adalah Simon Degey, Apinus Gobay, Alfius Youw, dan Yulian Yeimo.

Sementara itu, korban yang sempat dirawat adalah Otinus Gobay, Oni Yeimo, Yulian Mote, Oktavianus Gobay, Noak Gobay, Bernadus Magay, Akulian Degey, Agusta Degey, Abernadus Bunay, Neles Gobay, Jerry Gobay, Marci Yogi, Oktaviana Gobay, Yulian Tobay, Andreas Dogopia, Yulita Edoway, dan Jerry Kayame.

Tragedi itu bermula dari kedatangan mobil Toyota Rush hitam bernomor polisi B2938CD sekitar pukul 20.30 WIT di Bukit Togokutu, Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Papua. Pada malam 7 Desember itu, anak-anak dan remaja Paniai tengah berada di pos Natal.

Oknum yang diduga anggota TNI tersebut melewati jalan tanpa menyalakan lampu. Kemudian para remaja itu memperingatkan untuk menyalakan lampu. Namun, oknum anggota yang sampai saat ini tidak terungkap pelakunya tersebut tidak terima karena diperingatkan para remaja untuk menyalakan lampu kendaraan. Kemudian mereka melakukan penganiayaan terhadap beberapa anak yang berada di pos tersebut.

Menurut pengakuan masyarakat setempat, sekitar tujuh orang anggota TNI dan tim khusus (timsus) Yonif 753 Pos Uwibutu turun dari mobil melepaskan tembakan tiga kali ke udara dan menyerbu sekitar 12 anak muda yang menjaga Pondok Natal.

Selanjutnya, pada 7 Desember malam, keluarga mengaku ingin bertemu pihak Polres untuk meminta penyelesaian tragedi tersebut. Keluarga juga ingin mengklarifikasi hal itu.

Namun rupanya masalah itu tidak kunjung selesai. Pihak Polres menjanjikan akan menyelesaikan pagi hari. Akan tetapi sampai pukul 07.00 WITA tidak ada kelanjutan dari pihak Polres untuk mempertemukan pelaku dan korban.

Kemudian masyarakat melakukan protes dengan melakukan pemalangan jalan. Protes itu dianggap sebagai bentuk suara rakyat menanggapi arogansi aparat yang berlebihan. Tiba-tiba datang satu mobil yang menurut dugaan mereka adalah mobil yang semalam melintas, yang datang dan melakukan penganiayaan. Mereka menghentikan mobil dan menyuruh orang dalam mobil itu keluar.

Ternyata mobil tersebut berisikan anggota TNI, dalam hal ini anggota Batalyon 753. Mobil aparat tersebut dirusak oleh anak-anak ini. Setelah kejadian ini, anak-anak berlari ke sebuah lapangan dekat Markas Koramil, kantor distrik, dan Polsek. Mereka menari-menari di lapangan itu, menari tarian adat.

Tidak lama kemudian, ada suara tembakan dari Koramil. Karena merasa ditantang, anak-anak ini maju ke arah Polsek. Namun ternyata sudah banyak aparat yang disiagakan. Anak-anak ini kemudian berlari. Sayangnya, persis di tengah lapangan itu anak-anak ini terkepung. Mencoba melarikan diri dan menghindar, anak-anak ini malah ditembak oleh aparat.

Keluarga Menolak Otopsi

Salah seorang aktivis HAM yang ikut dalam Tim Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua yang dibentuk oleh Kemenkopolhukam, Matius Murib, mengatakan, dari 13 kasus pelanggaran HAM di Papua yang sudah ditetapkan oleh Tim, kasus Paniai dinyatakan satu dari tiga kasus yang sudah selesai dengan bukti-bukti yang sudah lengkap. Kasus ini siap untuk dibawa ke pengadilan.

Meskipun demikian, kata Matius Murib, pihak keluarga menolak untuk diadakan autopsi sehingga membuat penyelesaiannya masih tertunda.

Di lain pihak, keluarga korban Paniai dalam sebuah pernyataan yang diterima oleh satuharapan.com, mengatakan mereka menolak semua tim investigasi bentukan pemerintah karena mereka tidak mempercayainya lagi. Mereka mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar mengizinkan Pelapor Khusus PBB untuk menyelidiki kasus ini.

"Jika demikian halnya, akan bertambah sulit. Tetapi Kemenkopolhukam tampaknya akan terus melakukan pendekatan terhadap keluarga. Bupati Paniai sekarang kan ketua Partai Hanura di Paniai," kata Matius Murib kepada satuharapan.com ketika ditemui di Jakarta, Rabu (26/10). Menkopolhukam Saat ini, Wiranto, adalah mantan Ketua Umum Partai Hanura.

Brutalitas Aparat masih Terjadi

Matius Murib mengakui tingkat kepercayaan rakyat Papua masih rendah terhadap Jakarta, terutama karena brutalitas aparat masih terjadi. Ia mencontohkan maklumat Kapolda Papua yang melarang Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk melakukan aksi. Padahal, aksi-aksi mereka tidak dilakukan dengan kekerasan.
"Jadi walaupun Pak Jokowi berkunjung 1000 kali ke Papua, jika brutalitas aparat masih terjadi, tidak akan tercapai kepercayaan," kata dia.

Ia juga mengangkat contoh janji Presiden Jokowi di Lapangan Mandala yang mengatakan kasus Paniai akan diselesaikan dalam enam bulan. Itu pun tidak terlihat sampai saat ini.

"Sehingga apa pun omongan Pak Jokowi agak sulit untuk dipercaya karena tidak ditindak lanjuti bawahannya," kata Matius Murib.

Dalam kasus terbunuhnya pemimpin adat Papua, Theys Hiyo Eluay pada tahun 2001, Matius Murib mengatakan para oknum TNI terdakwa yang terlibat pembunuhan itu justru dipromosikan, dan bahkan ada yang kini sudah menjabat sebagai Kabais TNI.

Menurut Matius Murib, pemimpin adat Papua yang kritis menyuarakan ketidak adilan di Papua, telah dipandang sebagai musuh negara. Sehingga yang membunuhnya justru diberi apresiasi.

"Jadi ke depan ini masih sulit melihat keadilan HAM di Papua," kata dia.

Namun, ia juga menggaris bawahi ada kemajuan yang sudah dicapai dan patut diapresiasi. Menurut dia, dibentuknya Tim Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua oleh Kemenkopolhukam,  adalah sebuah langkah maju. Hal ini baru ada di bawah pemerintahan Jokowi dan belum pernah ada sebelumnya. Selain itu, adanya pengakuan 13 pelanggaran HAM di Papua yang sudah ditetapkan oleh Tim, menurut dia, merupakan bukti adanya niat baik pemerintah.

Editor : Eben E. Siadari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar